By Pdt. Dr. A.
Ginting Suka
Pertemuan Injil
dan kebudayan
Injil diberitakan
ditengah-tengah dunia yang penuh kebudayaan yang bentuknya dapat diumpamakan
seperti kue lapis. Lapisan-lapisan kebudayaan itu misalnya di Indonesia terdiri
darilapisan yang diwarnai oleh agama pribumi, Hinduisme, Buddhisme, Islam,
Kristen dan terakhir modernisme. Intensitas pengaruh itu berbeda satu dengan
lain bergantung pada etnografis,geografis dan sejarah masing-masing wilayah.
Tetapi bagaimanapun Injil yang diberitakan itu tetapberhadapan dengan
kebudayaan bangsa-bangsa dan suku-suku. Dalam pertemuan injil dan kebudayaan
tersebut, secara khusus adalah dengan unsur-unsurkebudayaan yang pasti terdapat
dalam semua kebudayaan yang dinamai unsur kebudayaanuniversal, terdiri dari :
Sistem relegi dan upacara keagamaan, Sistem dan organisasi masyarakat, Sistem
pengetahuan, Sistem bahasa, Sistem Kesenian, Sistem Mata pencaharian, dan
Sistem teknologi. Lapisan-lapisan kebudayaan itu tidak statis, masing-masing
saling berpenetarasi, maka unsur kebudayaan yang universal itu selalu berada
dalam perubahan.
Demikianlah Injil
selalu berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan tersebut dengan membawa nilai
Injil secara khusus dengan sistem religi,sistem pengetahuan, kesenian dan mata
pencaharian. Sewaktu Yesus memberitakan Injil, Ia ditentang oleh Yudaisme dalam
soal-soal doktrin dan kesucian,perkawinan,sistem ekonomi yang berlandaskan
usaha kerja, sedang Injil menekankan anugerahAllah sebagai jaminan kehidupan
(Mattius 5 : 25-34); tentangkasih dan keadilan yang menentanghukum
balas-membalas (Mattius 5 : 38-48).
Hal yang sama
terjadi setelah Injil dibawa keluar Israel ke masyarakat Hellenisme dan
Romawi.Injil menentang absolutisme kekaisaran romawi dimana kaisar dianggap dan
dipuja sebagai Tuhandan agama rakyat yang politheistis dan hubungan seksual
termasuk dalam sistem religi yangmembuat tata susila yang permissif, sini tari
yang membangkitkan birahi dan bentuk-bentuk olahraga yang tidak manusiawi. Oleh
sebab itu gereja tidak dapat tidak harus menentukan sikapterhadap kebudayaan
yang dihadapinya.
Sikap Gereja
terhadap kebudayaan
H. Richard Niebuhr
dari Yale University di Amerika serikat telah membuat bagan tentang sikapGereja
terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture atau Kristus dan
kebudayaan. Iatelah menjelajahi sikap-sikap Gereja terhadap kebudayaan
sepanjang zamandalam 5 sikap, yaitu :
1. Gereja anti kebudayan
2. Gereja dari kebudayaan
3. Gereja diatas kebudayaan
4. Gereja dan kebudayaan dalam hubungan
paradoks
5. Gereja pengubah kebudayaan
Ini adalah
gambaran –gambaran umum, sedang dapat kita benarkan pendapat yang
mengatakanbahwa tidak ada gereja yang secara murni mengambil salah satu sikap
tersebut. Namun adabaiknya kita membicarakan posisi-posisi itu satu persatu :
1. Posisi 1, Gereja memandang dunia di bawah kekuasaan si
jahat sebagai kerajaan kegelapan.
Warga
Gerejadisebut oleh Injil adalah anak-anak terang, karena itun tidak hidup dalam
kegelapan. Duniakegelapan ini dikuasai oleh nafsu kedagangan, nafsu mata,
kesombongan. Semua itu akan berlalusebab mereka akan dikalahkan oleh iman
kepada Kristus (Niebuhr, 56). Sikap menentang kebudayaan initelah
dilancarkan oleh Tertullianus tokoh Gereja abad ke 2. Iamengatakan bahwa konflik-konflik
orang percaya bukan dengan alam tetapi dengan kebudayaan.Dosa asal itu menurut
Tertullianus disebarkan oleh kebudayaan melalui pendidikan anak. Olehnkarena
itu kata tertullianus tugas Gereja adalah menerangi semua orang yang sudah
berada dibawah ilusi kebudayan, supaya mereka dibawa kepada pengetahuan akan
kebenaran. Yang palingburuk darikebudayaan adalah agama sosial, kafir atau
politheisme, hawa nafsu dan kemaksiatan (Niebuhr, 60).
Tetapi pada pihak lain, tertullianus menganjurkan agar Gereja memupukkebersamaan,
tidak meninggalkan pertemuan umum, tempat pemandian, kede, penginapan,
pasarmingguan tempat perdgangan sebab Gereja dengan semua itu numpang bersama
dalam dunia.Selanjutnya kata Tertullianus, kami berlayar bersama berjuang
denganmu, mengolah tanahdenganmu bahkan dalam bidang seni untuk umum. Pada
pihak lain Tertullianus mengajak orangmenjauhi keterlibatan dalam soal-soal
kenegaraan, antara lain menolak dinas militer sebabmelanggar perintah Injil
yang melarang menggunakan pedang dan tidak ikut dalam sumpah setiakepada kaisar
dan keturut sertaan dalam upacara kafir.Ia menolak bentuk kekristenan yang
berfusidengan Stoa dan Plato. Menurut pendapatnya, tidak ada hubungan Kristus
dengan filsafat. WalauTertullianus tidak menolak seluruh kebudayaan, tapi
Niebuhr menyebutnya termasuk dalam posisiGereja lawan kebudayaan.
2. Posisi 2, Gereja dari kebudayaan
Kelompok yang
menganut paham ini merasa tidak ada ketegangan besar antara gereja dan
dunia,antara Injil dan hukum-hukum sosial, antara karya rahmat Illahi dengan
karya manusia. Merekamenafsirkan kebudayaan melalui Kristus danberpendapat
bahwa pekerjaan dan pribadi Kristusadalah sangan sesuai dengan kebudayaan.
Dipihak lain, kelompok ini berpendapat jika Kristusditafsirkan melalui
kebudayaan, maka hal-hal yang terbaik dalam kebudayaanadalah cocok denganajaran
dan kehidupan Kristus. Namun penyesuaian ini bukan sembarangan, sebab telah
dilakukanjuga penjungkiran bagian-bagian kebudayaan yang tidak sesuai dengan
Injil dan bagian-bagian Injilyang tidak sesuai dengan adat istiadat sosial
(Niebuhr : 94).
Tetapi kaum
Gnostik Kristen menafsirkan Kristus sepenuhnya sesuai dengan konsep
kebudayaan,tidak ada pertentangan antara keduanya. Dengan demikian ada perdamaian
Injil dengankebudayaan dan karena itu kekristenan telah menjadi sistem agama
dan filsafat dan Gereja hanyasebagai perhimpunan religius bukan sebagai gereja
atau masyarakat baru. Tokoh-tokoh penyesuaianini dalam sejarah Gereja adalah
Clemens (200) dan Origines (185-254)- (Fuklaan-Berkhof, 1981 : 41).Pada abad
pertengahan posisi Gereja dari kebudayaan dilanjutkan oleh Petrus Abelardus
(1079-1142) yang mengakui karya Filsuf Socrates dan Plato sebagai guru mendidik
walaupun lebih rendahtingkatnya tyetapi bersesuaian dengan ajaran Yesus
(Niebuhr, 100).
Tokoh yang lain
adalah Ritschl yang menggagasi untuk merekonsiliasi kekristenan
dengankebudayaan. Kelompok ini secara keseluruhan disebut Protestantisme
kebudayaan melalui gagasantentang kerajaan Allah yang telah disamakan dengan
suatu kerajaan umat manusia yang terhimpundalam suatu keluarga, di bawah ikatan
kebajikan, perdamaian, keperluan bersama. Perhimpunan initerbentuk melalui aksi
moral secara timbal balik dari anggota-anggotanya yaitu suatu aksi melaluipertimbangan
alamiah (Niebuhz, 109). Dalam gagasan ini, kesetiaan orang kepada
Kristusmenentukan orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam karya
kebudayaan (Niebuhr, 110).
3. Posisi 3.
Gereja diatas kebudayaan.
Pandangan ini
berawal dari pandangan tingkatan hirarkis dari alam (natural) dan spiritual
(rohani).Menurut Thomas Aquinas (1225-1274), kebudayaan menciptakan aturan
suatu kehidupan sosialyang ditemukan oleh akan budi manusia yang dapat dikenal
oleh semua yang berakal sehat sebabbersifat hukum alam. Tapi disamping hukum
alam ada hukum Ilahi yang dinyatakan Allah melaluipara Nabi yang melampaui
hukum alam. Sebagian hukum Ilahi adalah harmonis dengan hukumalam dan sebagaian
lagi melampauinya dan itulah menjadi hukum dari hidup supernatural manusia(ordo
supernaturalis). Hukum Ilahi terdapat dalam perintah: jualah semua apa yang
kamu miliki,berikan kepada orang miskin sedang hukum alam terdapat dalam
perintah kamu tidak bolehmencuri, yaitu hukum yang sama dapat ditemui oleh akal
manusia dan didalam wahyu. Dari contohitu Thomas Aquinas menyimpilkan bahwa
hukum alam yang ditemuiyang terdapat dalam kodrathidup manusia berada dubawah
ordo supernaturalis.
Manusia dalam
hidupnya sudah kehilangan ordo supernaturalis dan untuk dapat memulihkannya kembali
hanyalah melalui sakraman. Gereja berada dalam ordo supernatulis. Oleh karena
itu kebudayaan berada di bawah hirarkisgwereja. Dengan itu pada abad
pertengahan gereja menguasai seluruh kebudayaan dalam tatananCorpus
Christianum.
4.Posisi 4.
Hubungan Gereja dan kebudayaan dalam paradoks.
Dalam pandangan ini, iman dan kebudayaan
dipisahkan. Orang beriman (Kristen) berada dalam dua suasana yaitu berada dalam
kebudayaan dan sekaligus berada dalam anugerah Allah dalamKristus. Oleh sebab
itu orang beriman dihimpit oleh dua suasana yaitu hidup dalam iman dan
hidupdalam kebudayaan. Dalam sejarah Gereja, Marcian seorang tokoh gereja abad
ke 2 yang berpendirian bahwa dalamkebudayaan manusia di bawah Allah yang rendah
derajadnya yang dinamainya domiurgos sedangdalam pembaharuan ciptaan, manusia
hidup di bawah Allah Rahmani. Dengan itu ia telahmempelopori hidup secara
dualisme. Ajaran ini ditolak gereja pada masa itu dan dikategorikansebagai
ajaran sesat.
Pandangan dualisme kelihatan juga secara
samar dalam ajaran Marthin Luther yang mencetuskanreformasi pada tahun 1517
Menurut dia orang beriman hidup dalam dua kerajaan, yaitu kerajaanAllah yang
rohani dan kerajaan duniawi. Kerajaan Allah adalah suatu kerajaan anugerah
dankemuliaan, tetapi kerajaan duniawi adalah suatu kerajaan kemurkaan dan
kekerasan. Keduakerajaan itu tidak dapat dicampur adukkan. Masing-masing
lingkungan menurutaturannya. Jadimanusia hidup dalam dua tatanan yaitu tatanan
kebudayaan berdasarkan hukum alam dan tatananrohani yaitu tatanan surgawi. Ada
kesan bahwa Marthin Luther tidak menghubungkan tatananduniawi dengan yang
surgawi sehingga kehidupan dalam kebudayaan dan surgawi tidakberhubungnan.
Dengan itu ada kemungkinan orang tidak lagi membawa imannya dalam
kehidupandalam kebudayaan (Niebuhr, 194).
Pada abad ini pandangan itu dipertahankan
oleh seorang Teolog bernama William Roger. Manusiamenurut Roger, harus berbakti
kepada Allah maupun raja, kendati ada ketegangan antara keduanya.Orang beriman
seyogianya hanya berbakti kepada Allah tetapi tidak dapat tidak harus
berbaktikepada kebudayaan. Kita tidak dapat tidak hidup seperti ampibi, yaitu
hidup dalam rahmat Allah dansekaligus dalam kebudayaan. Kedua lingkungan ini
terpisah dan tidak saling berhubungan. Hal inimungkin bahwa seorang dapat hidup
berdasarkan imannya pada lingkungan rohani atau hidupmenurut imannya pada
lingkungan rahmat dan pada pihak lain ia hidup menurut aturan duniawidalam
lingkungan dunia (Niebuhr:207).
5. Posisi 5.
Gereja pengubah kebudayaan
Banya orang
Kristen sepanjang abad tidak menyetujui keempat pendirian tersebut baik dalam
teorimaupun dalam politik. Mereka juga tidak bersedia menyerah kepadakebudayaan
karena merekamemahami kebudayaan mempunyai kelemahan-kelemahan. Mereka juga
menolak takluk kepadakebudayaan yang dipaksakan gereja sebab kebudayaan yang
dipaksakan gereja selalu berbentuksintesa antara kerajaan Allah dan kerajaan
dunia dan ada kecenderungan memandang kebudayaanyang masih berdosa ini dianggap
suci sebab berada di bawah gereja. Tapi adalah tidak benar, jikadikatakan bahwa
kerajaan Allah telah diwujudkan dalam kebudayaan yang diciptakan
gereja(Verkugl, 1982 : 49).
Sikap gereja yang
tepat menurut H. R. Niebuhr adalah sikap gereja pengubah kebudayaan. Seorang teolog
bernama Augustinus (354-430) telah mempelopori sikap gereja pengubahkebudayaan.
Posisi ini berangkat dari pendirian bahwa tidak ada suatu kodrat yang
tidakmengandung kebaikan, karena itu kodrat setan sendiripun tidaklah jahat,
sejauh itu adalah kodrat,tapi ia menjadi jahat karena dirusak (Niebuhr, 239).
Tetapi Allah kata
Augustinus, memerintah dan mengatasi manusia dalam pribadi dan sosial
merekayang rusak. Pandangan ini berasal dari pemahaman bahwa oleh sifat
kreatifitas Allah maka Allahtetap menggunakan dengan baik kehendak manusia yang
jahat sekalipun, sehingga m,anusia dapatmemenuhi kebutuhan hidupnya melalui
kebudayaannya. Sikap Allah ini mendapat wujudnya dalamYesus Kristus yang telah
datang kepada manusia yang telah rusak untuk menyembuhkan danmemperbaharui apa
yang telah ditulari melalui hidup dan kematiannya, ia mengatakan kebesarankasih
Allah dan tentang begitu dalamnya dosa manusia (241). Denganjalan Injilnya ia
memulihkanapayang telah rusak dan memberi arah baru terhadap kehidupan yang
telah rusak (242). Ataspemikiran teologis tersebut, Agustinus meletakkan
gagasan Injil pengubah kebudayaan atau Injiladalah Conversionis terhadap
kebudayaan. Pemikiran Augustinis ini dilanjutkan oleh Johanes Calvinpada awal
abad ke 16. Titik tolak pikirannya berawal pada pandangannya bahwa
hukum-hukumkerajaan Allah telah ditulis dalam kodrat manusia dan dapat terbaca
dalam kebudayaannya. Denganitu hidup dan kebudayaan manusia dapat
ditransformasikan sebab kodrat dan kebudayaan manusiadapat dicerahkan, sebab
mengandung kemungkinan itu pada dirinya sebagai pemberian Ilahi. Olehsebab itu
Injil harus diaktualisasikan dalam kebudayaan supaya kebudayaan lebih
dapatmensejahterakan manusia (245-246).
Gereja dan
kebudayaan di Indonesia
Seperti telah
disinggung sebelumnya, unsur-unsur kebudayaan yang dihadapi Injil di Indonesia saratdengan
pengaruh agama-agama, mulai dari agama pribumi, Hindu, Buddha dan Islam
dalamintensitasyang berbeda-beda. Pengaruh itu dalam bentuk lapisan-lapisan,
namun saling berpenetrasiantara satu dengan yang lain. Secara umum dapat
dikatakan pengaruh Hindu dan Islamberpengaruh dalam kebudayaan Jawa, sedang di
Indonesia bagian timur terdapat pengaruh agamapribumi dan Islam. Di Sumatwera
Utara khususnya diantara orang Batak terdapat pengaruh agamaHindu dan agama
pribumi.
SewaktuInjil
diberitakan kepada suku-suku bangsa di Indonesia maka Injil berhadapan
denganunsur-unsur kebudayaan setempat. Persoalan kita bagaimana sikap gereja
terhadap kebudayaansetempat. Gereja-gereja berlatar belakang reformasi yang
membawa Injil ke Indonesia menekankan sekalikemurnian Injil dan disiplin
kehidupan umat sesuai nilai-nilai yang termuiat dalam Injil. Oleh sebabitu
geraja selalu mengawasi agar unsur-unsuryang bertentangan dengan Injil tidak
memasukikehidupan umat Kristen. Oleh karena itu gereja menolak kultus roh nenek
moyang dan semua ritus-ritus untuk menguatkan roh atau jiwa seseorang. Tujuan
utama penolakan ini, agar tidak terjadipenyembahan kepada ilah-ilah selain dari
Allah Jahweh (Keluaran 20 : 2-5). Tetapi gereja menyadari bahwa simbol-simbol
yang digunakan masyarakat adalh bermuatan agamasedang bagi masyarakat pribumi
suatu simbol selalu identik dengan yang disimbolkan. Oleh sebabitu gereja tidak
saja menolak kultus kepada yang bukan Allah tetapi juga mendesakralisasikan
suatusimbol sehingga dapat menjadi sarana untuk mencapai kesejahteraan manusia.
Upaya ini nampak
jelas dalam penerimaan gereja terhadap tatanan masyarakat Batak yang
dinamaidilikan na tolu, yaitu tiga tungku (Batak toba, Angkola, Simalungun dan
Dairi) atau sangkep si telu(Batak Karo). Tatanan ini bersumber darikepercayaan
orang Batak kepada tiga Dewata, yangpertama berkediaman di dunia atas, yang
kedua di dunia tengah dan ketiga di dunia bawah.Berdasarkan pandangnan
kosmologis tersebut, maka masyarakat Batak dibagi atas unsur hula-hulaatau
kalimbubu (Karo) yaitu kelompok si pemberi dara, dongan atau senina (Karo)
yaitu kelompoksatu klan dan boru atau anak beru (Karo) yaitu kelompok si
pengambil dara.
Ketiga dewata itu
diharapkan selalu harmonis agar kehidupan manusia di dunia tengah tidakdiganggu
oleh dunia bawah dan atas. Harapan ini terungkap dalam doa orang Karo bunyinya
:turunlah dewata diatas, naiklah dewata di bawah dan duduklah dewata ditengah.
Sebagaimanaharus ada keharmonisan antara dunia atas, tengah dan bawah, demikian
juga ketiga unsur kerabattersebut harus selalu bertindak dalam keserasian. (Ph.
L. Tobing, the structure of Batak Belief in theHigh God: 1963:28-29) Bahwa
orang batak memahamiseluruh kosmos sebagai keselueruhan duniabawah, tengah dan
atas. Dalam totalitas ini, masing-masing dunia yang tiga itu mempunyai
fungsi,melalui mana keserasian dan keberadaan manusia itu mungkin. Penghapusan
salah satu daritotalitas itu berarti pemusnahan jagad raya dan juga keberadaan
masing-masing. Demikian jugakeberadaan kosmos yang menjadi bagian dari pada
ruang adalah kesatuan totaliter. Tanpamemandang luas kecil operasinya, ia
adalah kesatuan dari kuasa-kuasa yangbertentangan(terjemahan : penulis).
Gereja mengadopsi
tatanan dalihan na tolu tau sangkep si telu tersebut dengan mencopot
unsurmythologisnya dan menanamkan nilai-nilai etis agama Kristen kedalamnya
agar peran masing-masing unsur lebih rasional dan fungsional. Hal yang sama
dilakukan gerja-gereja dalam kebudayaan setempat di Indonesia antara lain
gereja diAmbon mengadopsi tatanan “pela gandong” yaitu suatu ikatan sosial
masyarakat berdasarkan ikrarnenek moyang pada waktu yang tidak diketahui lagi,
tetapi tetap diteruskan kepada generasi-generasi seterusnya tanpa membedakan agama
yang merekla anut. Kepatuhan orang terhadap tatanan dalihan na tolu maupun pela
gandong tersebut bukan semata-mata oleh ikatan hukum, tapi mengandung
nilai-nilai moral dan oleh sebab itu kepatuhan tersebutbersifat devasi atau
ibadah dan orang yang melanggarnya dikategorikan sebagai pelanggar
moral.Dapatlah kita simpulkan bahwa sikap gereja terhadap kebudayaan adalah:
1. Gereja menentang kebudayaan
khususnya terhadap unsur-unsur yang secara totalbertentangan dengan Injil,umpamanya
terhadap kultus agama, suku dan tata kehidupanyang tidak membangun seperti
poligami, perjudian, perhambaan.
2. Menerima unsur-unsur kebudayaan yang
bersesuaian dengan Injil dan bermanfaat bagi kehidupan.
3. Menerima unsur-unsur kebudayaan
tertentu dan mentransformasikannya dengan Injil umpamanya tata perkawinan, seni
tari dan lain-lain sehingga dapat menjadi sarana Injil untuk membangun iman dan
kehidupan.
Kesimpulan
Melalui pertemuan
Injil dengan sub kultur-sub kultur di Indonesia timbullah kebudayaan sub
kulturKristen di Indonesia. Hal ini mengatakan tidak ada kebudayaan Kristen
yang universal di Indonesia.Dengan itu agama Kristen telah menjadi salah satu
sumber kekuatan untuk melahirkan kebudayaan.Oleh sebab kelokalan itu maka
kebudayaan sub kultur Kristen itu tidak seluruhnya menyapa semuamanusia
disegala zaman dan tempat. Hal itu berarti Injil yang universal itu dijadikan
menjadi Injilyang lokal, yang menjawab persoalan dan kebutuhan lokal. Proses
ini dapat menjadi ancaman sebabInjil yang universal dikaburkan dalam
kelokalannya.
Tapi pada pihak
lain hanya dengan cara demikian Injil yang universal menjadi fungsional
dalamkonteks lokalnya. Atas dasar itu Paul Tillich seorang teolog berkata :”
theology move betweeneternal truth of its foundation and the temporal situation
in which the eternal truth must bereceived” (Tillich, Systematic Theology I .
3). Kata-kata itu mengatakan bahwa teologi adalahungkapan dari kebenaran Injil
dari situasi temporal, dimana kebenaran itu harus diterima.
Ucapan Tillich
membenarkan upaya menghubungkan Injil atau teks Alkitab dengan situasi
lokal,sehingga timbul usaha berteologi yang menghasilkan teologi yang menjawab
permasalahan atauanswering theology. Teologi yang menjawab itu adalah fungsional
yang diupayakan oleh manusia.Dengan cara inilah agama Kristen dapat melahirkan
kebudayaan. Pada pihak lain perlu disadari bahwa cara bertheologi menghubungkan
teks dengan situasi lokal(konteks) memerlukan kejelian:pertama, agar teks tidak
dikaburkan oleh konteks demi kepentingankonteks, kedua, agar teologi yang
menjawab permasalahan itu jangan dianggap telah final, tanpamenyadari
keterbatasannya, ketiga agar menyadari bahwa konteks terus menerus berubah
yangmengharuskan suatu usaha yang terus menerus.
Perlu disadari
bahwa teologi yang menjawab tersebut bukanlah Injil itu sendiri, melainkan
suatuhasil yang diupayakan orang Kristen yang committed terhadap Injil. Hal ini
juga berarti bahwapelaku-pelaku teologi haruslah bergerak dari teks terhadap
konteks dan teks itu tetap bergaungterhadap konteks yang digumulinya sehingga
keuniversalan Injil itu bergema dalam sub kulturKristen dimana sajapun. Dengan
mengandalkan teologi kontekstual yang menjawab permasalahan, maka orang
Kristendapat mengadakan pendekatan sosial terhadap penganut agama lain,
umpamanya melalui subkultur Kristen batak ummat Kristen mendekati orang-orang
Batak yang beragama Islam, Hindu danBuddha dengan asumsi bahwa setiap penganut
agama-agama di Indonesia sedikit banyaknya telahdimasuki oleh sub kultur etnis
tertentu. Inilah salah satu point of contact yang dapat dipergunakanoleh
penganut antar agama untuk mencapai kerukunan yang dinamis.
KEPUSTAKAAN
Berkhof, I.
H, Sejarah Gereja, Jakarta, BPK G Mulia, 1986. Koentjaraningrat, Pengantar
Ilmu Antropologi, Jakarta, PT. Renaka Cipta, 1990. Niebuhr, Richard,
H, Christand Culture, terj. Satya Karya, jakarta : Petra Jaya, tt.
Tobing, Ph,
L, The Stucture Of Toba Batak Belief In The High God, Amsterdam, Jacob Van
Kanpen, 1963.
Tillich,Paul, Systematic Theology I,
Chicago, SCM Press, 1984.
Selamat sore bpak, maaf saya ingin bertanya. Menurut bpak, apakah org yg beragama pasti berbudaya? dan apakah org yg berbudaya psti beragama? Sinkronkah jika agama dan budaya dipersatukan? Tolong berikan pendapat bpak beserta penjelasan alasannya. Terima kasih sebelumnya. Tuhan Yesus memberkati
ReplyDelete